Tahun 2000 - 2003 merupakan tahun2 detoksifikasi mindset karyawan menuju mindset pengusaha, yakni masa transisi dari "comfort zone" karyawan menuju "wild jungle zone" pengusaha.
Di tahun 1998 saya sudah merencanakan resign sebagai karyawan pada tahun 2001, justru pada saat itu saya sedang berada di puncak karir sebagai Finance Manager di perusahaan konstruksi papan atas di Jakarta.
Faktor2 yang mempengaruhi saya untuk resign sebagai karyawan antara lain :
1. Saya menginginkan kebebasan jiwa, yakni kebebasan dalam berkarya dan ingin mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang dapat "memberi dan melayani" kepada masyarakat.
Sesuatu yang mustahil didapatkan apabila saya masih bersatatus sebagai karyawan, karena sebagai karyawan tentunya saya terikat dengan seabreg sistem & prosedur yang memang lazim dalam suatu korporasi.
2. Saya ingin mengikuti jejak keteladanan yang ditinggalkan almarhum orang tua dalam "memberi dan melayani" kepada masyarakat.Sepanjang hidupnya beliau selalu berlandaskan falsafah "memberi dan melayani " dan saya menyaksikan langsung serta ikut merasakan kedamaian yang diciptakan beliau di dalam hidup bermasyarakat, berinteraksi dengan koleganya, begitu juga di dalam bahtera rumah tangga beliau.
That's the funtastic life... so what ? Pada prinsipnya saya mengadopsi falsafah beliau dan saya hanya memodifikasi sedikit agar sesuai dengan "passion" saya pribadi.
3. Meskipun produktivitas sebagai karyawan masih OK, namun kesadaran akan segera memasuki masa "pensiun" selalu membuat hati tidak nyaman, karena usia saya sudah 45 tahun.Saya ingin pensiun dengan nyaman dan damai bersama keluarga, yakni pensiun dengan kondisi "bebas finansial".
4. Saya ingin lebih dekat dan mempunyai banyak waktu kepada keluarga, karena selama 25 tahun berkarir sebagai karyawan saya sering travelling keluar kota meninggalkan keluarga.
Saya selalu "guilty feeling" terhadap isteri dan putri2 saya.
Saya sering menomorduakan keluarga dan lebih mementingkan karir pribadi sebagai karyawan.Sehingg terlalu naif apabila saya sering mengatakan, bahwa "saya berkarya untuk keluarga", pada kenyataannya saya justru sering tidak hadir di saat keluarga memerlukan eksistensi saya sebagai kepala keluarga.
"Waktu" yang merupakan asset paling berharga milik saya telah saya gadaikan ke perusahaan tempat saya berkarya. Sunguh ironis... saya lebih menghormati "mesin absen" di kantor (agar tidak dipotong uang transport + uang makan) dari pada rengekan anak2 agar diantar ke sekolahnya, yang nota bene hanya perlu waktu tempuh 5 menit dari rumah tinggal.
Oh my God... I was stupid father... Maafkan papa yang telah menyia-nyiakan waktu yang begitu berharga dengan kalian... saya telah kehilangan momen2 manis kebersamaan dengan anak2... !!!
Contoh paling gamblang, saya belum pernah mengambilkan rapor anak2 saya pada saat kenaikan kelas, atau hadir pada saat anak saya sedang konser musik, atau pada saat anak sedang sakit dan harus berobat ke dokter, atau membimbing anak pada saat belajar, etc.. !!Kontribusi saya sebagai kepala keluarga pada kewajiban2 tersebut "nyaris NOL".Hampir semuanya diborong dan dikerjakan penuh kasih sayang oleh isteri tercinta, tanpa didampingi saya sebagai suami. Special for my lovely wife... you are the great mother and wonderful wife forever... I am "nothing" without you... !!!
Saya terjebak dalam pemahaman yang salah, bahwa "kasih sayang dan perhatian kepada keluarga" dapat diganti dengan "materi yang berlimpah" dari penghasilan yang menyita sebagian besar waktu berharga saya.
Materi yang cukup memang diperlukan dalam menunjang kualitas kehidupan, namun jauh lebih bijak apabila sebagian besar waktu dapat kita selaraskan penggunaannya... pembagian waktu yang proporsional antara keluarga dan karir, sehingga kita tidak kehilangan momen2 manis bersama isteri dan anak2 tercinta.
Faktor2 tersebut di atas yang meng-akselerasi keinginan pindah kuadran, agar kualitas kehidupan keluarga dapat lebih baik.
Target waktu yang cukup pendek untuk pindah kuadran membuat saya sering mengambil keputusan penting dengan ceroboh dan menggampangkan problema atau risiko yang akan saya pikul.
Keputusan membentuk bisnis baru di bidang sapi perah merupakan studi kasus ketidakcermatan saya dalam mengambil keputusan. Saya nekad terjun ke dalam bisnis sapi perah meskipun sudah tahu selalu mengalami Cash Flow negatif setiap bulannya.
Pada waktu itu saya mempunyai asumsi, bahwa apabila saya suntik dengan tambahan modal kerja dan investasi penambahan jumlah sapi perah, maka produksi susu akan bertambah banyak dan Sales akan mengalami kenaikan yang signifikan, sehingga Cash Flow akan menjadi positif.
Well... harapan dan fakta di lapangan jauh berbeda... semua proyeksi Cash Flow yang diberi asumsi canggih dan tercetak rapi di kertas, hwarakadah.... babak belur di lapangan bro !!!
Problema SDM yang tingkat keluar masuknya tinggi merupakan problem utama, karena sapi perah merupakan mahluk hidup yang setiap hari harus diberi makan dan diperah susunya.
Setiap kali ada karyawan yang tidak masuk, dapat dipastikan aktivitas perusahaan terganggu... produksi susu sapi anjlok... yang tentu saja akan menurunkan Sales.
Jumlah sapi perah yang bertambah menimbulkan problema pengadaan pakan ternak, karena kuantitas pembelian pakan harus lebih banyak dan pada waktu itu belum mengetahui suplier resources pakan ternak yang dapat diandalkan deliverynya. Akibatnya hampir setiap hari pontang panting hunting pakan ternak.
Problema paling parah adalah dari sisi Cash Flow, yakni :
1. Dana untuk investasi penambahan sapi perah sangat signifikan, sehingga sebagian cadangan dana untuk operasional sehari-hari ikut tersedot.
2. Aliran Cash In dari hasil penjualan susu sapi sering molor melebihi target 15 hari, bahkan pernah pembayaran dari penjualan susu diterima setelah berumur 28 hari.
3. Volume pembelian pakan ternak yang bertambah banyak menyebabkan gangguan yang serius dalam Cash Flow
Ujian detoksifikasi perubahan mindset makin komplit... karena kelak setelah berjalan beberapa tahun... saya menemukan kecurangan yang dilakukan oleh sepupu saya sendiri... orang yang paling saya percaya sekaligus partner bisnis handal di dalam mengelola jaringan bisnis Betiga Klaten.
Hwarakadah..... saya menemukan kecurangan tersebut justru pada saat saya sudah resign dari karyawan dan memulai profesi baru saya sebagai full pengusaha.
Jujur saja... saya mengalami kepanikan dan gamang menghadapi kehidupan, karena saya sudah tidak lagi mempunyai gaji sebagai karyawan... di sisi lain 4 orang anak sudah semakin tumbuh kembang, yang memerlukan dana pendidikan lebih banyak lagi sesuai dengan kenaikan strata pendidikannya.
Dan saya kurang menyiapkan mindset pengusaha kepada isteri, sehingga di antara kami seringkali terjadi "beda persepsi dan konsep" dalam profesi baru saya sebagai pengusaha.
Kepanikan... gamang menjalani kehidupan... "topeng2 bisnis"... strategi keluar dari badai problema... menyiasati keuangan dan mengelola rumah tangga paska resign... akan saya sharing dalam artikel berikutnya.
No comments:
Post a Comment