Sunday, December 30, 2007

Dari karyawan menjadi pengusaha (4).

Tahun 2000 - 2003 merupakan tahun2 detoksifikasi mindset karyawan menuju mindset pengusaha, yakni masa transisi dari "comfort zone" karyawan menuju "wild jungle zone" pengusaha.

Di tahun 1998 saya sudah merencanakan resign sebagai karyawan pada tahun 2001, justru pada saat itu saya sedang berada di puncak karir sebagai Finance Manager di perusahaan konstruksi papan atas di Jakarta.

Faktor2 yang mempengaruhi saya untuk resign sebagai karyawan antara lain :
1. Saya menginginkan kebebasan jiwa, yakni kebebasan dalam berkarya dan ingin mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang dapat "memberi dan melayani" kepada masyarakat.
Sesuatu yang mustahil didapatkan apabila saya masih bersatatus sebagai karyawan, karena sebagai karyawan tentunya saya terikat dengan seabreg sistem & prosedur yang memang lazim dalam suatu korporasi.

2. Saya ingin mengikuti jejak keteladanan yang ditinggalkan almarhum orang tua dalam "memberi dan melayani" kepada masyarakat.Sepanjang hidupnya beliau selalu berlandaskan falsafah "memberi dan melayani " dan saya menyaksikan langsung serta ikut merasakan kedamaian yang diciptakan beliau di dalam hidup bermasyarakat, berinteraksi dengan koleganya, begitu juga di dalam bahtera rumah tangga beliau.
That's the funtastic life... so what ? Pada prinsipnya saya mengadopsi falsafah beliau dan saya hanya memodifikasi sedikit agar sesuai dengan "passion" saya pribadi.

3. Meskipun produktivitas sebagai karyawan masih OK, namun kesadaran akan segera memasuki masa "pensiun" selalu membuat hati tidak nyaman, karena usia saya sudah 45 tahun.Saya ingin pensiun dengan nyaman dan damai bersama keluarga, yakni pensiun dengan kondisi "bebas finansial".

4. Saya ingin lebih dekat dan mempunyai banyak waktu kepada keluarga, karena selama 25 tahun berkarir sebagai karyawan saya sering travelling keluar kota meninggalkan keluarga.
Saya selalu "guilty feeling" terhadap isteri dan putri2 saya.
Saya sering menomorduakan keluarga dan lebih mementingkan karir pribadi sebagai karyawan.Sehingg terlalu naif apabila saya sering mengatakan, bahwa "saya berkarya untuk keluarga", pada kenyataannya saya justru sering tidak hadir di saat keluarga memerlukan eksistensi saya sebagai kepala keluarga.

"Waktu" yang merupakan asset paling berharga milik saya telah saya gadaikan ke perusahaan tempat saya berkarya. Sunguh ironis... saya lebih menghormati "mesin absen" di kantor (agar tidak dipotong uang transport + uang makan) dari pada rengekan anak2 agar diantar ke sekolahnya, yang nota bene hanya perlu waktu tempuh 5 menit dari rumah tinggal.
Oh my God... I was stupid father... Maafkan papa yang telah menyia-nyiakan waktu yang begitu berharga dengan kalian... saya telah kehilangan momen2 manis kebersamaan dengan anak2... !!!
Contoh paling gamblang, saya belum pernah mengambilkan rapor anak2 saya pada saat kenaikan kelas, atau hadir pada saat anak saya sedang konser musik, atau pada saat anak sedang sakit dan harus berobat ke dokter, atau membimbing anak pada saat belajar, etc.. !!Kontribusi saya sebagai kepala keluarga pada kewajiban2 tersebut "nyaris NOL".Hampir semuanya diborong dan dikerjakan penuh kasih sayang oleh isteri tercinta, tanpa didampingi saya sebagai suami. Special for my lovely wife... you are the great mother and wonderful wife forever... I am "nothing" without you... !!!

Saya terjebak dalam pemahaman yang salah, bahwa "kasih sayang dan perhatian kepada keluarga" dapat diganti dengan "materi yang berlimpah" dari penghasilan yang menyita sebagian besar waktu berharga saya.

Materi yang cukup memang diperlukan dalam menunjang kualitas kehidupan, namun jauh lebih bijak apabila sebagian besar waktu dapat kita selaraskan penggunaannya... pembagian waktu yang proporsional antara keluarga dan karir, sehingga kita tidak kehilangan momen2 manis bersama isteri dan anak2 tercinta.

Faktor2 tersebut di atas yang meng-akselerasi keinginan pindah kuadran, agar kualitas kehidupan keluarga dapat lebih baik.
Target waktu yang cukup pendek untuk pindah kuadran membuat saya sering mengambil keputusan penting dengan ceroboh dan menggampangkan problema atau risiko yang akan saya pikul.

Keputusan membentuk bisnis baru di bidang sapi perah merupakan studi kasus ketidakcermatan saya dalam mengambil keputusan. Saya nekad terjun ke dalam bisnis sapi perah meskipun sudah tahu selalu mengalami Cash Flow negatif setiap bulannya.

Pada waktu itu saya mempunyai asumsi, bahwa apabila saya suntik dengan tambahan modal kerja dan investasi penambahan jumlah sapi perah, maka produksi susu akan bertambah banyak dan Sales akan mengalami kenaikan yang signifikan, sehingga Cash Flow akan menjadi positif.

Well... harapan dan fakta di lapangan jauh berbeda... semua proyeksi Cash Flow yang diberi asumsi canggih dan tercetak rapi di kertas, hwarakadah.... babak belur di lapangan bro !!!
Problema SDM yang tingkat keluar masuknya tinggi merupakan problem utama, karena sapi perah merupakan mahluk hidup yang setiap hari harus diberi makan dan diperah susunya.
Setiap kali ada karyawan yang tidak masuk, dapat dipastikan aktivitas perusahaan terganggu... produksi susu sapi anjlok... yang tentu saja akan menurunkan Sales.

Jumlah sapi perah yang bertambah menimbulkan problema pengadaan pakan ternak, karena kuantitas pembelian pakan harus lebih banyak dan pada waktu itu belum mengetahui suplier resources pakan ternak yang dapat diandalkan deliverynya. Akibatnya hampir setiap hari pontang panting hunting pakan ternak.

Problema paling parah adalah dari sisi Cash Flow, yakni :
1. Dana untuk investasi penambahan sapi perah sangat signifikan, sehingga sebagian cadangan dana untuk operasional sehari-hari ikut tersedot.
2. Aliran Cash In dari hasil penjualan susu sapi sering molor melebihi target 15 hari, bahkan pernah pembayaran dari penjualan susu diterima setelah berumur 28 hari.
3. Volume pembelian pakan ternak yang bertambah banyak menyebabkan gangguan yang serius dalam Cash Flow

Ujian detoksifikasi perubahan mindset makin komplit... karena kelak setelah berjalan beberapa tahun... saya menemukan kecurangan yang dilakukan oleh sepupu saya sendiri... orang yang paling saya percaya sekaligus partner bisnis handal di dalam mengelola jaringan bisnis Betiga Klaten.

Hwarakadah..... saya menemukan kecurangan tersebut justru pada saat saya sudah resign dari karyawan dan memulai profesi baru saya sebagai full pengusaha.

Jujur saja... saya mengalami kepanikan dan gamang menghadapi kehidupan, karena saya sudah tidak lagi mempunyai gaji sebagai karyawan... di sisi lain 4 orang anak sudah semakin tumbuh kembang, yang memerlukan dana pendidikan lebih banyak lagi sesuai dengan kenaikan strata pendidikannya.

Dan saya kurang menyiapkan mindset pengusaha kepada isteri, sehingga di antara kami seringkali terjadi "beda persepsi dan konsep" dalam profesi baru saya sebagai pengusaha.

Kepanikan... gamang menjalani kehidupan... "topeng2 bisnis"... strategi keluar dari badai problema... menyiasati keuangan dan mengelola rumah tangga paska resign... akan saya sharing dalam artikel berikutnya.

Dari karyawan menjadi pengusaha (3).

Pada bulan November 1999 saya juga memulai bisnis ke 7 di Klaten, Jawa Tengah. Inilah cikal bakal bisnis yang kelak menjadi "flag carrier", saya mulai mengenalkan brand BETIGA... wahana aktivitas profesi saya sebagai pengusaha !!!
Bidang usaha yang pertama kali dikelola Betiga adalah jual beli sapi potong dan bisnis diawali dengan skala kecil dahulu, bahkan belum punya kandang sapi sendiri, jadi sapi masih dititipkan di kandang milik famili.
Wow... ada yang lebih heboh, Modal berupa uang yang saya keluarkan pertama kali adalah Rp 900.000,-Yuupp betul... Sembilan Ratus Ribu Rupiah saja.Jumlah tersebut dipakai untuk biaya pasang 1 line "nomor cantik" PSTN (telephone dari Telkom) sebesar Rp 400.000,- dan Rp 500.000,- digunakan sebagai panjar pembelian 1 ekor sapi potong yang berharga Rp 3.500.000,-
Seminggu kemudian, pada saat saya akan melunasi pembelian sapi, cihuy... famili yang mengurus sapi memberi informasi, bahwa sapi yang akan saya lunasi tersebut malahan sudah laku terjual sebesar Rp 4.150.000,-So... saya yang seharusnya melunasi kekurangan pembayaran sapi sebesar Rp 3.000.000,-, eh... saya malah menerima transfer uang sebesar Rp 4.150.000,- dari hasil penjualan sapi.
Alhamdulillah.... dapat keuntungan Rp 650.000,- (dihitung dengan kaidah Akuntansi) dari penjualan perdana bisnis sapi.Namun apabila dilihat dari Arus Kas, hmm beda banget... di mana ada Arus Kas Masuk sebesar Rp 4.150.000,-, sementara Arus Kas Keluar hanya sebesar Rp 900.000,- (uang panjar sapi + pasang telpon), sehingga terjadi Arus Kas Positif sebesar Rp 3.250.000,-
Saya selalu tersenyum apabila teringat transaksi perdana ini... saya "serasa" pengusaha kelas kakap... ha...ha...ha... karena saya hanya melakukan :1. Via telpon (posisi saya di Jakarta, famili saya di Klaten), yakni dari informasi tentang adanya penawaran sapi yang dijual di bawah harga pasar, pengambilan keputusan agar sapi dibeli, sampai pada keputusan sapi setuju dijual.2. Via ATM, yakni pada saat transfer untuk pembayaran uang panjar sapi + biaya pasang telpon, serta pada saat menerima hasil penjualan sapi.
Seiring berjalannya waktu, bisnis sapi potong mulai tumbuh kembang dan pada titik ini saya mulai membuat "blunder" akibat mindset karyawan masih kental banget.
Saya TIDAK SABAR... saya ingin SHORT CUT... saya tidak mau mengikuti PROSES... saya ingin serba INSTANT...Saya mestinya mengasah mindset pengusaha... saya seharusnya detoksifikasi mindset karyawan yang sudah puluhan tahun mengendap di sekujur jiwa... saya mestinya meninggalkan "comfort zone" karyawan...
Dan saya malah nekad mengambil keputusan untuk mulai merambah ke bisnis sapi perah... bisnis padat modal dan memerlukan keahlian khusus dalam merawat hewan.Alasan utama saya pada waktu itu adalah penjualan sapi potong tidak dilakukan setiap hari, melainkan sebulan paling banyak dua kali transaksi.Sedangkan penjualan pada bisnis sapi perah terjadi setiap hari, yakni dari susu sapi yang diperah setiap pagi dan sore.
Well... perjalanan babak belur dimulai, yakni sebagian besar hasil susu sapi dijual kepada pabrik susu bubuk ternama via KUD dengan harga jual "minim" yang sudah dipatok dari pabrik susu tersebut.
Derita makin bertambah karena pembayaran dari KUD dilakukan dua minggu sekali, sehingga membuat arus kas menjadi kembang kempis untuk menutup biaya pakan sapi dan upah langsung tenaga kerja.
Sedangkan sebagian kecil susu perah dijual bebas dengan harga jual yang "lumayan" kepada pelanggan2 Rumah Tangga sebagai pemakai langsung.Hasil penjualan susu kepada pelanggan Rumah Tangga cukup membantu arus kas harian untuk menopang biaya pakan sapi yang lumayan besar.
Denyut bisnis yang "berkesinambungan" mulai saya rasakan, meskipun saya masih berstatus sebagai karyawan.Saya sangat "menikmati dunia amphibi" saya, yakni seorang karyawan yang merangkap sebagai pengusaha.
Melihat prospek bisnis sapi yang "menggiurkan" tersebut, saya mulai serius menyiapkan rencana resign sebagai karyawan. Apalagi pada waktu itu, tahun 2000, buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki sedang "booming" di Jakarta, yang membuat saya semakin termotivasi untuk pindah kuadran.
Pada waktu itu saya memakai "topeng", meskipun saya tahu bisnis sapi perah mengalami "bleeding" arus kas, namun saya pura2 tidak merasakannya.Saya gengsi mengakui kegagalan bisnis lagi di hadapan keluarga dan teman2.... saya tetap mempertahankan bisnis sapi perah tersebut, walaupun setiap bulan harus menambal arus kas yang compang camping !!!
Dan kemudian tibalah saatnya saya jatuh terhempas ke jurang yang paling dalam.... yang akan saya sharingkan dalam artikel "Dari karyawan menjadi pengusaha bagian ke 4".

Dari karyawan menjadi pengusaha (2).

Di tahun 1997 mencoba peruntungan dengan membuka bisnis ke 5, yakni kerja sama dengan rekan sekantor membuka lapak limbah kertas di Bekasi.Dalam 3 bulan pertama bisnis berjalan normal sesuai dengan yang direncanakan, malahan sering kekurangan modal kerja untuk menampung pasokan limbah kertas dari studio photo ternama.
Problema muncul setelah saya jarang mengontrol karena sering ditugaskan perusahaan mengaudit proyek2 di luar pulau Jawa, yakni famili rekan saya yang ditugasi untuk mengelola bisnis limbah kertas mulai bertindak tidak jujur.
Sungguh suatu ujian mental yang penuh makna, maksud hati ingin membuka lapangan kerja bagi orang yang memerlukan sekaligus untuk belajar berbisnis, namun apa daya amanah yang kami berikan justru disalahgunakan.
Rekan kerja saya merasa malu karena familinya melakukan penggelapan uang hasil penjualan limbah kertas dan mengusulkan agar bisnis ditutup saja karena kami berdua masih aktif sebagai karyawan, sehingga kami tidak dapat melakukan pengontrolan bisnis setiap harinya.Akhirnya saya sepakat untuk menutup bisnis tersebut dan menjual sisa stock limbah kertas yang tak seberapa hasilnya.
Pembelajaran yang diperoleh dalam bisnis limbah kertas adalah :1. Bisnis memerlukan sistem, sehingga apabila kita berhalangan hadir ada suatu mekanisme pengontrolan yang handal dan mudah mendeteksi setiap ada hal2 yang tidak beres dalam oprasional perusahaan.2. Dalam merekrut karyawan agar diutamakan yang memiliki integritas tinggi.3. Setiap hasil penjualan agar disetor ke Bank, tidak diijinkan untuk langsung dipakai sebagai biaya operasional. Sedangkan untuk biaya opersional menggunakan Petty Cash dengan metode Imprest Fund (jumlah dana tetap).
Bisnis ke 6 dimulai pada tahun 1999, yakni mencoba berbisnis ikan air deras di Bogor. Kolaborasi bisnis dengan beberapa rekan kerja di perusahaan konstruksi.
Mulai serius dalam mengelola bisnis, bahkan bertekad untuk menjadi wahana pindah kuadran. Kondisi ekonomi nasional yang sedang dilanda krisis moneter pada waktu itu, memaksa kami untuk menyiapkan alternatif apabila perusahaan konstruksi tempat kami bekerja tiba2 kolaps kesulitan likuiditas.
Kami semua menjalankan bisnis dengan kedodoran di semua aspek bisnis, mindset pengusaha belum dimiliki. Apalagi ditambah terlalu lama berada di "comfort zone" karyawan.Susah sekali melakukan koordinasi di antara kami, karena kami semua terbiasa memberi perintah.... ha..ha..ha..ha..
Setelah berjalan sekitar satu tahun, bisnis ikan air deras bubar dan pembelajaran yang di dapat :1. Apabila berbisnis hewan, faktor genetika mutlak diperhatikan, agar pertumbuhannya sesuai dengan yang direncanakan.2. Faktor komposisi bahan2 ransum makanan hewan sangat menentukan pertumbuhan hewan.3. Pada bulan2 tertentu beberapa bahan yang dipakai sebagai ransum makanan sulit ditemui di pasar.4. Modal kerja yang disiapkan untuk jangka waktu minimal 6 bulan, karena 4 bulan pertama adalah proses membesarkan ikan dan semakin lama ransum makanan yang dibutuhkan semakin banyak, karena ikan semakin tumbuh besar.5. Harus mampu mendapatkan pasar yang dapat menampung produksi ikan secara kontinyu, karena kalau sistem penjualan borong di kolam ikan, hasilnya sangat minim dan cenderung rugi.6. Diperlukan team work yang solid apabila berbisnis dengan rekan2 kolega kantor. Ada kecenderungan berkompetisi satu sama lain, seperti ingin meraih jenjang karir yang diidamkan setiap karyawan dalam suatu perusahaan.

Sunday, December 16, 2007

Dari karyawan menjadi pengusaha (1).

Ketika masih sekolah di SMP (1970-1972), saya mempunyai impian menjadi pengusaha seperti figur alm. Om Soenarno (adik alm. ibu saya) dan alm. Bulik Sri Maryati (adik alm. ayah saya).Kedua beliau ini kehidupannya sukses dan selalu menjadi teladan di dalam keluarga besar.
Perkenalan saya dengan dunia bisnis dimulai pada tahun 1987, ketika saya menjadi karyawan di Project Management Unit (PMU) yang memperoleh pendanaan dari CLUSA (Himpunan Koperasi di Amerika) dan bergerak di bidang Agrobisnis di Jawa Tengah.
Saya dan rekan kerja menggalang kerja sama dengan kelompok tani untuk menanam jagung hibrida yang akan diolah sebagai pakan ternak sapi.Pohon jagung yang dipanen disetorkan kepada salah satu unit PMU untuk diproduksi menjadi silage (pakan ternak).Di samping bisnis pohon jagung kami juga berbisnis pengadaan padi jenis Rojolele dan menjualnya ke Supermarket2 setelah dikemas dalam packing plastik @ 5kg.Sayang sekali bisnis yang berjalan mulus tersebut harus ditutup karena saya resign dari PMU, berhubung saya tidak cocok dengan gaya kepemimpinan sang General Manager yang arogan dan kurang manusiawi.
Setelah resign dari PMU langsung bermitra dengan kawan bermain di usia remaja, berbisnis Bengkel Las dan jasa Penyewaan Truck. Inilah bisnis ke 2 yang saya jalani pada tahun 1988.
Berhubung masih awam berbisnis dan masih kental mindset karyawan yang "aman", maka saya tidak puas dengan hasil yang diperoleh dari bisnis Bengkel Las dan Penyewaan Truck tersebut.Kondisi tersebut diperparah dengan perilaku kawan saya yang kurang transparan dalam pelaporannya.Di sisi lain keluarga terdekat selalu menasihati agar menjadi karyawan lagi, sehingga saya akan mempunyai penghasilan yang tetap lagi (baca : aman).Akhirnya saya keluar dari kerjasama bisnis tersebut dan saya menjadi karyawan lagi... he..he..he.. !!!Yupp... inilah dilemma yang sering dihadapi para karyawan yang ingin pindah kuadran menjadi pengusaha.
Saya mulai bisnis yang saya jalankan sendiri pada tahun 1994, yakni sebagai re-seller pakaian batik yang diageni oleh sepupu saya dari Solo. Bisnis ini merupakan bisnis saya yang ke 3.Produk busana batik yang dijual bervariasi dari yang murah sampai yang exclusive.
Produk tersebut saya jual kepada rekan kerja di perusahaan konstruksi tempat saya berkarya sebagai karyawan. Saya mulai berjualan 2 bulan sebelum Hari Raya Lebaran, sehingga dagangan laris manis cepat habis, apalagi sistem pembayaran dapat diangsur dua kali.
Sayangnya bisnis yang cukup prospektif tersebut tidak saya lanjutkan karena alasan klasik, yakni sibuk dengan tugas2 sebagai karyawan dan saya sering ditugaskan perusahaan mengaudit keuangan proyek2 di luar pulau Jawa.
Sejujurnya.... saya pada waktu itu belum "tune in" di bisnis, masih terbuai dengan "comfort zone" sebagai karyawan, sehingga saya malas untuk menjalani proses dan belajar merubah mindset, yakni dari mental karyawan menjadi mental pengusaha.
Saya lebih senang menerima amplop gaji setiap akhir bulan yang cukup aduhai jumlahnya, dibandingkan dengan hasil jualan busana batik yang tidak menentu jumlahnya.Apalagi selalu dibayangi repotnya menagih pembayaran dari kolega, yang cenderung suka molor dari jadwal yang sudah disepakati, rasanya saya seperti jadi pengemis yang selalu meminta-minta, meskipun itu adalah hak saya sebagai penjual.
Terlebih suara kasak kusuk kolega yang tidak senang dengan perjalanan karir saya yang melesat cepat dalam menduduki level managerial, hmm... sindiran2 seperti : sudah manager kok masih dagang di kantor, teganya ambil untung dari karyawan kecil, jangan2 pake fasilitas kantor buat ngurus bisnisnya, digaji buat kerja bukan untuk dagang di kantor... etc.
Telinga panas mendengar gunjingan tersebut... ujian mental yang terasa berat dan saya harus menjaga integritas sebagai Finance Manager agar tidak terjadi conflict of interest.
Faktor "repot" lainnya... apabila harus mengirim retur produk yang tidak laku terjual dan menunggu kiriman produk dari Solo yang tidak kunjung datang, padahal sudah janji kepada pembeli untuk menyerahkan pesanannya.... wuih, pedasnya kata2 complain pelanggan.
Beberapa faktor pressure tersebut di atas telah membuat saya mengambil keputusan tegas : bisnis tersebut saya tutup, agar saya dapat fokus sebagai karyawan.
Tahun 1996 memulai bisnis ke 4, yakni mencoba menjadi investor di sebuah pabrik pengolahan kayu di Padalarang (Jawa Barat), kolaborasi dengan kolega, yakni para manager fungsional ditambah Koperasi Karyawan di perusahaan konstruksi tersebut.Investasi ini merupakan take over kepemilikan perusahaan pengolahan kayu yang sedang kolaps karena gagal bayar kredit investasi di salah satu bank plat merah di Jakarta.
Saya terlalu mudah percaya dengan proposal yang nota bene diajukan oleh kolega sendiri, dan saya merasa sungkan untuk mengkaji kelayakan bisnisnya.Saya melakukan kesalahan fatal, yakni hanya percaya begitu saja dan saya tidak membuat kajian yang diperlukan apabila ingin investasi sebagai pemegang saham.
Semua ini saya lakukan karena saya "merasa punya duit", jadi dari pada disimpan di Bank lebih baik diinvestasikan di bisnis.Dan yang membuat fatal... saya punya asumsi bahwa kalaupun terjadi kerugian, saya masih aman dan tetap menerima gaji dari perusahaan tempat saya berkarya.Inilah tipikal mindset yang karyawan banget, mindset yang selalu merujuk pada sisi aman sebagai karyawan.
Apabila sekumpulan karyawan berbisnis bersama dan nyaris semuanya berpengalaman NOL dalam berbisnis, maka hasil bisnis yang didapatkan nyaris NOL juga.Perusahaan dikelola rekan2 saya by "remote control" dari Jakarta, sementara pabrik berlokasi di Padalarang.Dapat dipastikan management amburadul, apalagi setelah take over langsung menangani export kayu ke Hongkong.
Ups... perusahaan dengan management baru yang belum berpengalaman, langsung menangani order export yang rumit bin kompleks.
Dan tidaklah heran apabila pada akhirnya bisnis kayu langsung kolaps karena faktor2 di bawah ini :1. Pembelian bahan baku kayu kemahalan, pembelian yang asal tubruk dan dapat barang, karena dikejar tenggat waktu export.2. Produksi kayu mengabaikan Quality Control, akibatnya banyak produk yang di-reject oleh Buyer di Hongkong.3. Terkena claim dari Buyer Hongkong karena terlambat pengirimannya.4. Biaya produksi menjadi tinggi karena sebagian order diberikan kepada pabrik kayu lain, yakni dengan tujuan agar proses export bisa on time (pada kenyataannya... tetap saja skejul exportnya terlambat).
Suatu pembelajaran bisnis yang bagus, meskipun menyebabkan perusahaan langsung kolaps, karena menanggung kerugian yang besar.Inti sarinya adalah, apabila masih dalam skala belajar bisnis, mestinya belajar dari skala kecil dulu, sehingga risiko bisnis yang mungkin terjadi dapat terukur, dikenali dan mampu menanggulanginya.